Sebagai Penyuluh Keluarga
Berenacana, penulis cukup familiar dengan pemahaman bagaimana kuantitas
penduduk yang berlebih bisa berdampak buruk bagi berbagai aspek kemasyarakatan.
Perekonomian, pemukiman, kesehatan sampai isu lingkungan hidup sering dikaitkan
dengan ledakan penduduk. Dan semua klaim itu bukan tanpa dasar bahkan para ahli
demografi sejak jaman dahulu telah sering membahas hal tersebut.
Diantara teori yang sering
digunakan sebagai landasan adalah Teori dari Thomas Robert Malthus[1].
Menurut Thomas Robert Malthus, penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan
produksi pangan bertambah menurut deret hitung. Artinya jika dilambangkan
dengan angka, pertumbuhan penduduk akan mengikuti urutan 1, 2, 4, 8, 16 dan
seterusnya. Pada periode selanjutnya jumlah penduduk akan berlipat ganda dari
periode sebelumnya. Sedangkan produksi pangan jika dilambangkan dengan angka,
akan mengikuti urutan 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya. Ringkasnya pertumbahan
produksi pangan tidak akan mampu mengikuti kecepatan pertumbuhan penduduk.
Akibatnya kebutuhan pangan tidak akan bisa terpenuhi dan menyebabkan kelaparan dan kekurangan sumber
daya.
Ini adalah teori yang sudah
sangat lama tapi banyak berpengaruh pada perkembangan paradigm kependudukan di
periode-periode selanjutnya. Ada beberapa kelemahan pada teori ini yang telah
banyak didiskusikan oleh para pakar, akan tetapi tulisan ini tidak akan
membahas hal tersebut. Yang jelas teori ini telah menjadi dasar untuk
meletakkan fenomena ledakan penduduk dan resiko yang mengikutinya.
Secara pribadi, penulis tidak
sepenuhnya menafikkan resiko yang mengikuti ledakan penduduk. Akan tetapi
respon terhadap ledakan penduduk tampaknya masih belum berada on the right track. Pada perjalanan ke
Banjarmasin/banjarbaru untuk mengikuti rangkaian HARGANAS XXVI, penulis
mengamati beberapa hal yang tampaknya sering luput dari pembahasan
kependudukan.
Pada umumnya, ketika berbicara
tentang ledakan penduduk, maka solusi yang dimunculkan adalah pengendalian
kuantitas melalui penggunaan kontrasepsi. Sekali lagi penulis tidak dalam
kapasitas untuk mampu membantah solusi semacam ini, namun ada langkah yang
sebetulnya lebih tepat secara waktu dan situasi yang sering terabaikan yaitu
migrasi penduduk atau lebih tepatnya transmigrasi. Disebut sebagai solusi yang
lebih tepat secara waktu karena beberapa alasan.
Yang pertama, jika merujuk pada
teori Malthus, kondisi rawan yang ditakutkan akan terjadi ketika jumlah
penduduk sudah tidak dapat diimbangi oleh sumber daya alam yang ada. Akan
tetapi setelah teori tersebut berumur sekitar dua abad, kerawanan tersebut
belum terwujud. Memang kemiskinan, pengangguran dan gejala kemasyarakatan
lainnya telah nampak di banyak tempat akan tetapi hal tersebut lebih kepada
tidak terdistribusikannya potensi-potensi yang ada secara merata. Kemiskinan
terjadi bukan karena sumber daya alam yang menipis, akan tetapi karena terjadi
penumpukan kekayaan pada kelas ekonomi tertentu. Menurut data statistik yang
dikeluarkan Global Wealth Report 2016 dari Credit Suisse, ketidakmerataan
ekonomi Indonesia mencapai 49,3 persen. Itu artinya hampir setengah aset negara
dikuasai satu persen kelompok terkaya nasional.
Hal yang serupa juga bisa dilihat
pada aspek kesempatan kerja. Urbanisasi adalah salah satu penyebab banyaknya
pengangguran dikarenakan banyaknya tenaga kerja yang mengikuti persaingan di
kota-kota besar sehingga mengabaikan penciptaan lapangan kerja di
wilayah-wilayah penggiran. Artinya potensi sumber daya alam, sebetulnya masih
dalam tahapan mampu untuk mengimbangi jumlah penduduk, akan tetapi karena
penumpukan penduduk di wilayah tertentu menyebabkan tidak terolahnya potensi
tersebut.
Berdasarkan data BPS Kota
Banjarmasin tahun 2018, Kota Banjarmasin memiliki penduduk sebanyak 692.793
jiwa dengan kepadatan 7.036,28 jiwa per km². Bagi penulis angka-angka ini agak
sulit untuk diinterpretasikan, akan tetapi kunjungan langsung ke Banjarmasin
memberi kesan bahwa sebetulnya masih banyak lahan yang belum tergarap di
wilayah ini. Apalagi jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di
Indonesia.
Alasan kedua bagi penulis
menyimpulkan transmigrasi sebagai solusi yang lebih tepat secara situasi,
karena pemahaman kultural masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima
penendalian kelahiran sebagai solusi paling humanis.[2]
Alasan religius dan kemanusiaan masih sering didapati dalam pola piker masyarakat
Indonesia sebagai alasan menolak penggunaan kontrasepsi. Fenomena ini memang
secara perlahan semakin berkurang tapi tentu tidak ada salahnya
mempertimbangkan pendekatan yang lebih mampu untuk diterima.
Kesimpulannya bahwa penulis
melihat bahwa distribusi penduduk adalah kebijakan yang lebih tepat untuk dijadikan
sebagai kebijakan mainstream dalam menghadapi fenomena ledakan penduduk,
tentunya tanpa mengesampingkan upaya-upaya seperti penggunaan kontrasepsi dan
lainnya.(ANH)
[1] Pdt.
Thomas Robert Malthus, FRS (lahir di Surrey, Inggris, 13 Februari 1766 –
meninggal di Haileybury, Hertford, Inggris, 29 Desember 1834 pada umur 68
tahun), yang biasanya dikenal sebagai Thomas Malthus, meskipun ia lebih suka
dipanggil "Robert Malthus", adalah seorang pakar demografi Inggris
dan ekonom politk yang paling terkenal karena pandangannya yang pesimistik
namun sangat berpengaruh tentang pertambahan penduduk.
[2] https://www.vox.com/energy-and-environment/2017/9/26/16356524/the-population-question
Komentar
Posting Komentar