Langsung ke konten utama

Ledakan Penduduk dan Migrasi (Seri Oleh-oleh HARGANAS XXVI)



Sebagai Penyuluh Keluarga Berenacana, penulis cukup familiar dengan pemahaman bagaimana kuantitas penduduk yang berlebih bisa berdampak buruk bagi berbagai aspek kemasyarakatan. Perekonomian, pemukiman, kesehatan sampai isu lingkungan hidup sering dikaitkan dengan ledakan penduduk. Dan semua klaim itu bukan tanpa dasar bahkan para ahli demografi sejak jaman dahulu telah sering membahas hal tersebut.
Diantara teori yang sering digunakan sebagai landasan adalah Teori dari Thomas Robert Malthus[1]. Menurut Thomas Robert Malthus, penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi pangan bertambah menurut deret hitung. Artinya jika dilambangkan dengan angka, pertumbuhan penduduk akan mengikuti urutan 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya. Pada periode selanjutnya jumlah penduduk akan berlipat ganda dari periode sebelumnya. Sedangkan produksi pangan jika dilambangkan dengan angka, akan mengikuti urutan 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya. Ringkasnya pertumbahan produksi pangan tidak akan mampu mengikuti kecepatan pertumbuhan penduduk. Akibatnya kebutuhan pangan tidak akan bisa terpenuhi dan  menyebabkan kelaparan dan kekurangan sumber daya.
Ini adalah teori yang sudah sangat lama tapi banyak berpengaruh pada perkembangan paradigm kependudukan di periode-periode selanjutnya. Ada beberapa kelemahan pada teori ini yang telah banyak didiskusikan oleh para pakar, akan tetapi tulisan ini tidak akan membahas hal tersebut. Yang jelas teori ini telah menjadi dasar untuk meletakkan fenomena ledakan penduduk dan resiko yang mengikutinya.
Secara pribadi, penulis tidak sepenuhnya menafikkan resiko yang mengikuti ledakan penduduk. Akan tetapi respon terhadap ledakan penduduk tampaknya masih belum berada on the right track. Pada perjalanan ke Banjarmasin/banjarbaru untuk mengikuti rangkaian HARGANAS XXVI, penulis mengamati beberapa hal yang tampaknya sering luput dari pembahasan kependudukan.
Pada umumnya, ketika berbicara tentang ledakan penduduk, maka solusi yang dimunculkan adalah pengendalian kuantitas melalui penggunaan kontrasepsi. Sekali lagi penulis tidak dalam kapasitas untuk mampu membantah solusi semacam ini, namun ada langkah yang sebetulnya lebih tepat secara waktu dan situasi yang sering terabaikan yaitu migrasi penduduk atau lebih tepatnya transmigrasi. Disebut sebagai solusi yang lebih tepat secara waktu karena beberapa alasan.
Yang pertama, jika merujuk pada teori Malthus, kondisi rawan yang ditakutkan akan terjadi ketika jumlah penduduk sudah tidak dapat diimbangi oleh sumber daya alam yang ada. Akan tetapi setelah teori tersebut berumur sekitar dua abad, kerawanan tersebut belum terwujud. Memang kemiskinan, pengangguran dan gejala kemasyarakatan lainnya telah nampak di banyak tempat akan tetapi hal tersebut lebih kepada tidak terdistribusikannya potensi-potensi yang ada secara merata. Kemiskinan terjadi bukan karena sumber daya alam yang menipis, akan tetapi karena terjadi penumpukan kekayaan pada kelas ekonomi tertentu. Menurut data statistik yang dikeluarkan Global Wealth Report 2016 dari Credit Suisse, ketidakmerataan ekonomi Indonesia mencapai 49,3 persen. Itu artinya hampir setengah aset negara dikuasai satu persen kelompok terkaya nasional.
Hal yang serupa juga bisa dilihat pada aspek kesempatan kerja. Urbanisasi adalah salah satu penyebab banyaknya pengangguran dikarenakan banyaknya tenaga kerja yang mengikuti persaingan di kota-kota besar sehingga mengabaikan penciptaan lapangan kerja di wilayah-wilayah penggiran. Artinya potensi sumber daya alam, sebetulnya masih dalam tahapan mampu untuk mengimbangi jumlah penduduk, akan tetapi karena penumpukan penduduk di wilayah tertentu menyebabkan tidak terolahnya potensi tersebut.
Berdasarkan data BPS Kota Banjarmasin tahun 2018, Kota Banjarmasin memiliki penduduk sebanyak 692.793 jiwa dengan kepadatan 7.036,28 jiwa per km². Bagi penulis angka-angka ini agak sulit untuk diinterpretasikan, akan tetapi kunjungan langsung ke Banjarmasin memberi kesan bahwa sebetulnya masih banyak lahan yang belum tergarap di wilayah ini. Apalagi jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Alasan kedua bagi penulis menyimpulkan transmigrasi sebagai solusi yang lebih tepat secara situasi, karena pemahaman kultural masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima penendalian kelahiran sebagai solusi paling humanis.[2] Alasan religius dan kemanusiaan masih sering didapati dalam pola piker masyarakat Indonesia sebagai alasan menolak penggunaan kontrasepsi. Fenomena ini memang secara perlahan semakin berkurang tapi tentu tidak ada salahnya mempertimbangkan pendekatan yang lebih mampu untuk diterima.
Kesimpulannya bahwa penulis melihat bahwa distribusi penduduk adalah kebijakan yang lebih tepat untuk dijadikan sebagai kebijakan mainstream dalam menghadapi fenomena ledakan penduduk, tentunya tanpa mengesampingkan upaya-upaya seperti penggunaan kontrasepsi dan lainnya.(ANH)



[1] Pdt. Thomas Robert Malthus, FRS (lahir di Surrey, Inggris, 13 Februari 1766 – meninggal di Haileybury, Hertford, Inggris, 29 Desember 1834 pada umur 68 tahun), yang biasanya dikenal sebagai Thomas Malthus, meskipun ia lebih suka dipanggil "Robert Malthus", adalah seorang pakar demografi Inggris dan ekonom politk yang paling terkenal karena pandangannya yang pesimistik namun sangat berpengaruh tentang pertambahan penduduk.
[2] https://www.vox.com/energy-and-environment/2017/9/26/16356524/the-population-question

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAMAT DATANG DI ERA NEW SIGA

Terhitung dari tahun 2022 ini, pencatatan pelaporan program KKBPK beralih dari aplikasi SIDUGA kepada SIGA secara keseluruhan. Dengan perubahan ini, maka mekanisme captor akan mengalami perubahan yang cukup penting hingga tidak berlebihan jika menyebut perubahan ini sebagai era baru captor program KKBPK. Apa saja yang berubah? Secara indikator, sebetulnya ada banyak kemiripan antara sistem lama pada SIDUGA dengan yang ada pada SIGA terbaru ini. Akan tetapi perubahan yang cukup signifikan bisa dilihat pada jenis data yang diinput ke dalam sistem secara online. Pada sistem sebelumnya, input data online hanya membutuhkan data yang telah direkap dalam form F/II/KB dan Rek.Kec F/I/Dal. Adapun pada sistem SIGA terbaru ini, proses perekapan dilakukan secara otomatis oleh sistem, sehingga data yang diinput ke dalam sistem adalah data mentah atau data dasar. Sederhananya, SIGA terbaru akan membangun data basis yang bersifat by name by address, sehingga jauh lebih lengkap jika dibandingkan siste...

Staff Meeting Pengelola Program Kecamatan bersama Dinas P2KBP3A

Dari kiri ke kanan: Ka. UPT Kec. Kec.Lab Badas, KTU Kec. Sumbawa, Ka. UPT Kec. Sumbawa, Kasubag Keuangan DP2KBP3A Kepala Dinas P2KBP3A Kab. Sumbawa, yang diwakili oleh Kasubag Keuangan DP2KBP3A, Supri, S.Pt menghadiri kegiatan Staff Meeting pada tanggal 22 April 2019 yang dilaksanakan di Balai Penyuluhan KB Kecamatan Sumbawa. Kegiatan ini menghadirkan PKB/PLKB dan unsur UPT KBPPPA dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumbawa dan Kecamatan Labuhan Badas sejumlah 20 orang. Ka. UPT Kecamatan Sumbawa dalam pengantarnya menyampaikan laporan kegiatan dan capaian program di Kecamatan Sumbawa selama tahun 2019. Acara kemudian dilanjutkan dengan arahan dari perwakilan Dinas P2KBP3A. Dalam arahannya, Supri menyampaikan beberapa poin terkait pelaksanaan program KKBPK termasuk realisasi BOKB tahun anggaran 2019. Seluruh unsur diharapkan dapat memberi masukan dalam pelaksanaan program agar nantinya ketika kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan tidak ada lagi permasalahan yang belum tunt...

Meteri Pembinaan PIK R

Kumpulan materi yang disampaikan pada pembinaan PIK R Pertemuan 01 Pengelolaan PIK R  atau versi lain Pertemuan 02 Pengenalan Program GenRe Pertemuan 03 Project Based Learning (Life Skill) bersambung...