Baru saja resesi ekonomi dinyatakan berakhir di Indonesia beberapa bulan yang lalu, saat ini negara-negara di Asia kembali terancam dengan isu resesi yang lain. Tapi kali ini bukan sektor ekonomi yang menjadi sasaran resesi. Untungnya juga, Indonesia tidak termasuk dari negara yang disebut terpengaruh resesi tersebut. Atau mungkin lebih tepatnya belum.
Resesi yang dimaksud adalah kemerosotan dalam perilaku seksual atau ‘resesi seks’. Istilah ini sering muncul dalam pemberitaan media beberapa hari terakhir. Negara negara yang disebut mengalami resesi seks ini diantaranya Amerika Serikat, dan beberapa negara di kawasan Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, dan terakhir Singapura. Istilah resesi seks sendiri mulai digunakan oleh jurnalis Amerika Serikat ketika membicarakan bagaimana mood untuk melakukan hubungan seksual dan menikah turun tajam di negara tersebut.
Berita yang dikutip dari CNBC Indonesia menyebutkan hasil riset W. Bradford Wilcox, Direktur Proyek Pernikahan Nasional di University of Virginia pada April 2019. Dari hasil tersebut disampaikan terjadinya penurunan hubungan seksual di kalangan muda Amerika.
Penyebab Resesi Seks
Di antara hal yang dianggap melatari fenomena tersebut adalah kurangnya waktu untuk aktivitas rumah tangga karena kesibukan di tempat kerja, penggunaan smartphone berlebihan, juga tuntutan ‘me time’ karena faktor individual. Selain itu terdapat pula beberapa pasangan yang secara sadar mengurangi aktivitas seksual. Alasan mereka antara lain adalah kehati-hatian terhadap resiko perilaku seksual, sampai keinginan untuk membatasi atau bahkan tidak ingin punya anak sama sekali.
Fenomena ini kemudian muncul pula di beberapa negara lain, termasuk di kawasan Asia. Alasan yang melatarbelakanginya juga bisa dikatakan sama dengan fenomena di Amerika Serikat. Selain itu ada beberapa alasan tambahan yang sempat disampaikan seperti merebaknya Covid 19. Di Singapura, pembatasan pertemuan menyebabkan banyak pasangan yang menunda perkawinan dan menjadi salah satu penyebab menurunnya aktivitas seksual di negara tersebut. Meski demikian, penyebaran Covid 19 merupakan alasan kontemporer, dan masih perlu pembuktian lebih lanjut. Akan tetapi, kondisi ini menunjukkan munculnya keputusan untuk membatasi kegiatan seksual karena menghindari resiko tertentu.
Dampak Resesi Seks
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita juga berpotensi terpapar resesi seks ini? Apa dampak yang bisa ditimbulkan dari fenomena ini?
Sebelumnya, perlu dicermati dulu bahwa resesi seks itu bukan sesuatu yang pasti buruk. Sebagaimana fenomena sosial lainnya, perlu melihat konteks dan latar belakang resesi seks sebelum menentukan baik buruknya dampak yang ditimbulkan.
Ketika Amerika serikat dan negara-negara lain yang disebut di atas dikatakan mengalami resesi seks, maka resiko pertama yang dikhawatirkan adalah menurunnya tingkat kelahiran. Rasanya cukup mudah untuk melihat keterkaitan antara menurunnya aktivitas seksual dengan semakin kecilnya peluang terjadinya kelahiran.
Sebagai catatan, bahwa kebanyakan negara yang disebut mengalami resesi seks memiliki tingkat kelahiran yang rendah. Hal ini bisa dilihat dari data Total Fertility Rate (TFR) tahun 2019 yang dirilis oleh Bank Dunia. Pada data tersebut TFR Amerika Serikat berada pada angka 1,705, China di angka 1,696, Jepang 1,36, Singapura 1,14, dan Korea Selatan pada angka terendah 0,918. Angka-angka tersebut berada di bawah TFR 2,1 yang dianggap tingkat yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan penduduk yang stabil.
TFR yang rendah, ditambah dengan resesi seks dikhawatirkan akan berakibat pada menurunnya jumlah penduduk secara signifikan. Hal ini tentu akan berdampak pada sektor-sektor lainnya. Jumlah penduduk kecil akan sulit memenuhi kebutuhan angkatan kerja. Produksi menurun, dan mengakibatkan perputaran ekonomi terhambat dan mengarah ancaman yang lebih besar. Hal ini tidak hanya terbatas pada sektor perekonomian saja. Pertahanan keamanan, pendidikan, dan sosial budaya adalah di antara bidang pembangunan yang akan terpengaruh secara negatif oleh penurunan jumlah penduduk.
Dampak seperti ini umumnya akan dihadapi oleh negara-negara maju yang telah melewati periode bonus demografi. Bagi mereka, menurunnya tingkat kelahiran adalah ancaman bagi stabilitas dan kepentingan nasionalnya.
Tidak mengherankan jika kemudian, negara-negara tersebut kemudian merespon dengan kebijakan antisipatif. Sebagai contoh China yang awalnya menganut paham satu anak satu keluarga, kemudian beralih kepada kebijakan dua anak. Dan akhirnya setelah hasil sensus terakhir dirilis, China mencabut kebijakan dua Anak itu dan membolehkan warganya memiliki tiga anak. Bahkan diberitakan bahwa China sedang mengkaji kemungkinan memberi insentif kepada pasangan yang memiliki anak.
Adapun bagi negara berkembang atau yang pertumbuhan penduduknya masih tinggi seperti Indonesia, resesi seks bisa jadi bukan hal yang negatif. Bahkan penurunan fertilitas sebagai dampak resesi seks bisa jadi hal yang diharapkan.
Dari data SP 2020, TFR Indonesia berada pada angka 2,45. Artinya untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan penduduk yang ideal, angka ini masih perlu diturunkan.
Jika fenomena resesi seks ini terjadi di Indonesia dalam kondisi tersebut, dampak yang terjadi justru akan bisa bernilai positif. Hal ini disebabkan kebijakan kependudukan di Indonesia masih mengarah pada pengendalian kuantitas. Pendewasaan usia perkawinan dan penggunaan kontrasepsi masih mendominasi program kependudukan di Indonesia. Hal ini bukan tanpa alasan. Dengan tingkat fertilitas dan jumlah penduduk yang masih tinggi, kebijakan anti natalis masih dilihat sebagai alternatif terbaik. Dengan demikian, resesi seks adalah fenomena ‘ekstrim’ yang bisa sejalan dengan arah kebijakan kependudukan di Indonesia.
Prakondisi resesi seks di Indonesia
Meskipun di atas disampaikan bagaimana fenomena resesi seks ini banyak terjadi di negara dengan tren fertilitas menurun, tidak berarti bahwa gejala menuju resesi tidak terjadi di Indonesia. Di antara gejala yang bisa diamati adalah munculnya fenomena dalam skala lebih kecil seperti paradigma child-free (pernikahan tanpa anak) dan waithood (memperlama masa lajang).
Kedua fenomena tersebut juga merupakan bentuk ‘ekstrim’ dari pembatasan kelahiran dan pendewasaan usia perkawinan. Dengan paradigma child-free, pasangan yang menikah tapi tidak ingin memiliki anak setidaknya akan berada pada dua pilihan; menggunakan kontrasepsi atau menghindari kegiatan seksual sama sekali.
Adapun fenomena waithood, jika dikaitkan secara spesifik pada pernikahan, maka akan menunjukkan prioritas individu yang lebih condong pada hal-hal seperti karir, hobi dan lain-lain dibandingkan kehidupan berumah tangga termasuk memiliki anak.
Mereka yang berpegang dengan paradigma child-free dan waithood di Indonesia memang belum terlalu signifikan. Dengan kata lain, masih terlalu dini untuk menyebut bahwa resesi seks pasti terjadi di Indonesia. Tapi fenomena seperti ini bisa dilihat sebagai prakondisi ke arah sana.
Tapi sekali lagi, dengan kondisi kependudukan di Indonesia, dampak yang mungkin dirasakan mungkin tidak sama dengan beberapa negara di atas. Setidaknya dari sisi pengendalian penduduk. (ANH)
ARTIKEL INI TELAH TAYANG SEBELUMNYA DI WEBSITE BKKBN NTB PADA LINK INI
Komentar
Posting Komentar