Langsung ke konten utama

Pembangunan berbasis populasi di NTB


Praktek pembangunan nasional di Indonesia menjadikan jumlah populasi di wilayah tertentu sebagai salah satu pertimbangan utama perumusan kebijakan. Hal ini adalah perkara yang rasional mengingat tujuan utama suatu negara tidak pernah terlepas dari dua hal yaitu kesejahteraan dan keamanan dimana kedua hal tersebut adalah hal yang melekat dan periringan dengan populasi wilayah. Kompleksitas masalah dalam suatu wilayah berbanding lurus dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut sehingga semakin banyak populasi suatu wilayah, maka akan semakin besar perhatian yang perlu diberikan oleh pemerintah terhadap pemenuhan kesejahteraan dan kemanan di wilayah tersebut.
Di Nusa Tenggara Barat, perumusan kebijakan pembangunan terutama yang berkaitan dengan infrastruktur juga tidak terlepas dari paradigma tersebut. Akan tetapi perlu disadari bahwa terdapat  karakteristik geografis dalam wilayah Nusa Tenggara Barat yang berpotensi untuk menimbulkan masalah sosial jika tidak diberi perhatian khusus. Kondisi geografis yang dimaksud adalah terdapatnya dua pulau utama pada wilayah adminstrasi provinsi NTB yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Kondisi ini memisahkan dua kelompok masyarakat yang secara domografis berbanding terbalik. Jumlah penduduk di Pulau Lombok adalah dua pertiga dari keseluruhan populasi NTB sementara luas wilayahnya hanya sepertiga dari keseluruhan wilayah. Sebaliknya Pulau Sumbawa dengan jumlah penduduk yang hanya sepertiga dari keseluruhan populasi NTB memiliki wilayah dua pertiga dari keseluruhan luas wilayah NTB. Tentunya hal ini jika mengikuti paradigma pembangunan berbasis populasi maka akan membuat tingkat perhatian dan porsi pembangunan infrastruktur di Pulau Lombok akan lebih besar di bandingkan dengan Pulau Sumbawa. Sekali lagi hal ini adalah sesuatu yang rasional.



Pemerintah Provinsi NTB juga telah manyadari hal ini, terbukti dalam pernyataan yang disampaikan oleh Gubernur NTB 2 Periode Zainul Majdi sebagaimana diberitakan cendananews.com. Majdi menjelaskan, luas antara Lombok dan Sumbawa sangat jauh, luas Pulau Sumbawa sama dengan tiga kali Pulau Lombok. Itulah sebabnya ketika anggaran untuk pembangunan di Pulau Sumbawa, meski besar, tidak akan terlalu nampak kelihatan, karena luasnya wilayah, padahal dari sisi perhatian dan anggaran digelontorkan juga besar.
Akan tetapi terdapat kelemahan dalam paradigma seperti ini terutama terkait dengan kondisi geografis yang ada di NTB. Asumsi ketimpangan pembangunan bisa membuat dampak sosial berupa ketidakharmonisan antara penduduk di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Apalagi secara etnik antara Lombok dan Sumbawa juga terdapat perbedaan dimana pulau Lombok sebagian besar terdiri dari etnis Sasak dan Pulau Sumbawa didominasi etnis Sumbawa dan Bima. Memang patut diakui bahwa NTB termasuk sebagai wilayah dengan toleransi yang sangat bagus dan diakui secara nasional, akan tetapi tentunya hal tersebut lahir dari usaha dan kerja keras dalam mengatasi potensi-potensi yang bisa berdampak sosial. Oleh karena itu, asumsi-asumsi tentang terjadinya disparitas pembangunan antara pulau Lombok dan Pullau Sumbawa harus menjadi perhatian, dieliminir dan dicarikan solusi agar tidak menjadi lebih besar.

Transmigrasi: pemerataan pembangunan lewat pemerataan populasi

Salah satu yang bisa dijadikan solusi dalam mengatasi asumsi negatif yang timbul dari hasil paradigma pembangunan berbasis populasi adalah dengan menyeimbangkan jumlah penduduk yang mendiami kedua pulau utama di NTB tersebut.
Transmigrasi sendiri bukan hal yang baru bagi pemerintah NTB, akan tetapi sudah cukup lama yaitu sejak tahun 1973. Selama kurun wakru tahun 1973 sampai dengan tahun 2008 Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Instansi yang menangani Ketransmigrasian telah mengerahkan transmigrasi sebanyak 45.3179 KK = 178.866 jiwa yang ditempatkan di berbagai daerah transmigrasi.  Hanya saja, secara kuantitas dan kualitas, realisasi ini masih kurang dari yang dibutuhkan. Agar bisa tetap mempertahankan paradigma pembangunan berbasis populasi maka distribusi kepadatan penduduk di dua pulau utama di NTB setidaknya dibutuhkan pergeseran perbandingan populasi antara pulau Lombok dan Pulau Sumbawa dari 3:1 menjadi 2:1. Artinya dalam hitungan kasar perlu ada perpindahan penduduk dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa sekitar satu juta jiwa yang merupakan jumlah yang sangat besar.
Akan tetapi ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan untuk merealisasikan program ini. Pertimbangan-pertimbangan ini diambil dari pengalaman pelaksanaan program transmigrasi tahun-tahun sebelumnya beserta kendalanya, juga dengan melihat pertimbangan potensi yang dimiliki provinsi NTB pada saat ini. Pertimbangan tersebut antara lain yang pertama adalah transmigrasi pada tahun-tahun sebelumnya terkendala diantaranya oleh ketersediaan infrastruktur utama seperti listrik dan air minum. Pengadaan ini sebagian besar bergantung kepada intervensi pemerintah sehingga sulit melahirkan alternatif yang lebih mandiri dari transmigran. Yang kedua, pelaksanaan transmigrasi selama ini terkesan hanya terfokus pada wilyah yang potensial untuk pembukaan lahan pertanian baru.
Berdasarkan kedua poin tersebut, jika ingin meningkatkan realisasi transmigrasi yang bisa menciptakan proporsi populasi yang seimbang antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, maka hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah:

1.Kemungkinan pendekatan alternative untuk pengadaan listrik, air minum bahkan sampai sarana perumahan. Hal ini bisa meningkatkan tingkat kemandirian bagi transmigran sehingga tidak semata bergantung pada intervensi pemerintah. Potensi untuk ini sangat besar melihat keberadaan berbagai perguruan tinggi dan komunitas ilmiah yang ada di NTB yang bisa dijadikan motor bagi teknologi alternative tepat guna yang bisa dijadikan untuk merintis daerah-daerah baru. Yang diperlukan adalah keberanian pengambil kebijakan untuk menstimulasi dan merintis jalan menuju ke arah sana.
Sebagai contoh teknologi alternatif yang bisa dimanfaatkan misalnya untuk kelistrikan pembangkit listrik mikrohidro dan pembangkit listrik tenaga surya, untuk perumahan system earthbag, atau model perumahan alternative lainnya yang terbukti murah dan ramah lingkungan. Kesemua alternative ini bisa dilaksanakan dengan pendekatan berbasis komunitas sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada intervensi pemerintah sekaligus mendorong kemandirian masyarakat.

2.Perlu juga dipertimbangkan peluang perintisan transmigrasi yang tidak beroriantasi kepada lahan pertanian semata. Artinya transmigrasi juga didedikasikan untuk mengolah sektor lain di luar pertanian. Pulau sumbawa sebagai daerah tujuan transmigrasi punya potensi untuk hal tersebut. Sebagai contoh, wilayah SAMOTA yang bisa dibuka untuk pengelolaan pariwisata dan potensi kelautan.

Kesimpulan

Pembangunan berbasis populasi merupakan pilihan yang rasional untuk diterapkan di Nusa Tenggara Barat, akan tetapi jika ingin dimaksimalkan perlu melihat bagaimana pengelolaan penyebaran penduduk di dua pulau utama di NTB. Transmigrasi degan pengelolaan yang lebih menekankan kemandiarian hanyala salah satu solusi dan mungkin ada banyak solusi lain. Yang menjadi harapan adalah pelaksanaan pembangunan secara merata dan tidak menimbulkan asumsi ketimpangan yang bisa memiliki dampak sosial yang negative.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAMAT DATANG DI ERA NEW SIGA

Terhitung dari tahun 2022 ini, pencatatan pelaporan program KKBPK beralih dari aplikasi SIDUGA kepada SIGA secara keseluruhan. Dengan perubahan ini, maka mekanisme captor akan mengalami perubahan yang cukup penting hingga tidak berlebihan jika menyebut perubahan ini sebagai era baru captor program KKBPK. Apa saja yang berubah? Secara indikator, sebetulnya ada banyak kemiripan antara sistem lama pada SIDUGA dengan yang ada pada SIGA terbaru ini. Akan tetapi perubahan yang cukup signifikan bisa dilihat pada jenis data yang diinput ke dalam sistem secara online. Pada sistem sebelumnya, input data online hanya membutuhkan data yang telah direkap dalam form F/II/KB dan Rek.Kec F/I/Dal. Adapun pada sistem SIGA terbaru ini, proses perekapan dilakukan secara otomatis oleh sistem, sehingga data yang diinput ke dalam sistem adalah data mentah atau data dasar. Sederhananya, SIGA terbaru akan membangun data basis yang bersifat by name by address, sehingga jauh lebih lengkap jika dibandingkan siste...

Musyawarah Cabang V IPeKB Indonesia DPC Kab. Sumbawa

Pada hari Selasa (31/8), Dewan Pengurus Cabang Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (DPC-IPeKB) Kabupaten Sumbawa menyelenggarakan Musyawarah Cabang V. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses penyegaran pengurus 4 tahunan, yang mana pengurus periode sebelumnya akan berakhir pada bulan September 2021. Kegiatan ini menghadirkan anggota IPeKB dari unsur Penyuluh KB se Kabupaten Sumbawa sejumlah 23 orang. Hadir pula dalam kegiatan tersebut, Sekertaris Dinas P2KBP3A, Fikri, S,KM yang memberikan arahan sekaligus membuka acara tersebut secara resmi. Dalam sambutannya, Fikri menyampaikan harapan agar IPeKb di masa yang akan datang bisa menjadi organisasi yang mampu menunjukkan keberadaannya meski dengan jumlah anggota yang sedikit. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan Laporan Pertanggungjawaban (LPj) pengurus periode sebelumnya. LPj tersebut disampaikan oleh Ketua DPC periode 2017-2021, Dody Hidayat Jaya Miharja, SE. Untuk agenda selanjutnya, diadakan pemilihan Pengurus DPC IPeKB Kabupa...

Fenomena Resesi Seks: Ancaman atau Peluang

  Baru saja resesi ekonomi dinyatakan berakhir di Indonesia beberapa bulan yang lalu, saat ini negara-negara di Asia kembali terancam dengan isu resesi yang lain. Tapi kali ini bukan sektor ekonomi yang menjadi sasaran resesi. Untungnya juga, Indonesia tidak termasuk dari negara yang disebut terpengaruh resesi tersebut. Atau mungkin lebih tepatnya belum. Resesi yang dimaksud adalah kemerosotan dalam perilaku seksual atau ‘resesi seks’. Istilah ini sering muncul dalam pemberitaan media beberapa hari terakhir. Negara negara yang disebut mengalami resesi seks ini diantaranya Amerika Serikat, dan beberapa negara di kawasan Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, dan terakhir Singapura. Istilah resesi seks sendiri mulai digunakan oleh jurnalis Amerika Serikat ketika membicarakan bagaimana  mood  untuk melakukan hubungan seksual dan menikah turun tajam di negara tersebut. Berita yang dikutip dari CNBC Indonesia menyebutkan hasil riset  W. Bradford Wilcox, Direktur Proyek...