Pemerintah Provinsi NTB juga telah manyadari hal ini, terbukti dalam pernyataan yang disampaikan oleh Gubernur NTB 2 Periode Zainul Majdi sebagaimana diberitakan cendananews.com. Majdi menjelaskan, luas antara Lombok dan Sumbawa sangat jauh, luas Pulau Sumbawa sama dengan tiga kali Pulau Lombok. Itulah sebabnya ketika anggaran untuk pembangunan di Pulau Sumbawa, meski besar, tidak akan terlalu nampak kelihatan, karena luasnya wilayah, padahal dari sisi perhatian dan anggaran digelontorkan juga besar.
Akan tetapi terdapat kelemahan dalam paradigma seperti ini terutama terkait dengan kondisi geografis yang ada di NTB. Asumsi ketimpangan pembangunan bisa membuat dampak sosial berupa ketidakharmonisan antara penduduk di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Apalagi secara etnik antara Lombok dan Sumbawa juga terdapat perbedaan dimana pulau Lombok sebagian besar terdiri dari etnis Sasak dan Pulau Sumbawa didominasi etnis Sumbawa dan Bima. Memang patut diakui bahwa NTB termasuk sebagai wilayah dengan toleransi yang sangat bagus dan diakui secara nasional, akan tetapi tentunya hal tersebut lahir dari usaha dan kerja keras dalam mengatasi potensi-potensi yang bisa berdampak sosial. Oleh karena itu, asumsi-asumsi tentang terjadinya disparitas pembangunan antara pulau Lombok dan Pullau Sumbawa harus menjadi perhatian, dieliminir dan dicarikan solusi agar tidak menjadi lebih besar.
Transmigrasi: pemerataan pembangunan lewat pemerataan populasi
Salah satu yang bisa dijadikan solusi dalam mengatasi asumsi negatif yang timbul dari hasil paradigma pembangunan berbasis populasi adalah dengan menyeimbangkan jumlah penduduk yang mendiami kedua pulau utama di NTB tersebut.
Transmigrasi sendiri bukan hal yang baru bagi pemerintah NTB, akan tetapi sudah cukup lama yaitu sejak tahun 1973. Selama kurun wakru tahun 1973 sampai dengan tahun 2008 Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Instansi yang menangani Ketransmigrasian telah mengerahkan transmigrasi sebanyak 45.3179 KK = 178.866 jiwa yang ditempatkan di berbagai daerah transmigrasi. Hanya saja, secara kuantitas dan kualitas, realisasi ini masih kurang dari yang dibutuhkan. Agar bisa tetap mempertahankan paradigma pembangunan berbasis populasi maka distribusi kepadatan penduduk di dua pulau utama di NTB setidaknya dibutuhkan pergeseran perbandingan populasi antara pulau Lombok dan Pulau Sumbawa dari 3:1 menjadi 2:1. Artinya dalam hitungan kasar perlu ada perpindahan penduduk dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa sekitar satu juta jiwa yang merupakan jumlah yang sangat besar.
Akan tetapi ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan untuk merealisasikan program ini. Pertimbangan-pertimbangan ini diambil dari pengalaman pelaksanaan program transmigrasi tahun-tahun sebelumnya beserta kendalanya, juga dengan melihat pertimbangan potensi yang dimiliki provinsi NTB pada saat ini. Pertimbangan tersebut antara lain yang pertama adalah transmigrasi pada tahun-tahun sebelumnya terkendala diantaranya oleh ketersediaan infrastruktur utama seperti listrik dan air minum. Pengadaan ini sebagian besar bergantung kepada intervensi pemerintah sehingga sulit melahirkan alternatif yang lebih mandiri dari transmigran. Yang kedua, pelaksanaan transmigrasi selama ini terkesan hanya terfokus pada wilyah yang potensial untuk pembukaan lahan pertanian baru.
Berdasarkan kedua poin tersebut, jika ingin meningkatkan realisasi transmigrasi yang bisa menciptakan proporsi populasi yang seimbang antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, maka hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah:
1.Kemungkinan pendekatan alternative untuk pengadaan listrik, air minum bahkan sampai sarana perumahan. Hal ini bisa meningkatkan tingkat kemandirian bagi transmigran sehingga tidak semata bergantung pada intervensi pemerintah. Potensi untuk ini sangat besar melihat keberadaan berbagai perguruan tinggi dan komunitas ilmiah yang ada di NTB yang bisa dijadikan motor bagi teknologi alternative tepat guna yang bisa dijadikan untuk merintis daerah-daerah baru. Yang diperlukan adalah keberanian pengambil kebijakan untuk menstimulasi dan merintis jalan menuju ke arah sana.
Sebagai contoh teknologi alternatif yang bisa dimanfaatkan misalnya untuk kelistrikan pembangkit listrik mikrohidro dan pembangkit listrik tenaga surya, untuk perumahan system earthbag, atau model perumahan alternative lainnya yang terbukti murah dan ramah lingkungan. Kesemua alternative ini bisa dilaksanakan dengan pendekatan berbasis komunitas sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada intervensi pemerintah sekaligus mendorong kemandirian masyarakat.
2.Perlu juga dipertimbangkan peluang perintisan transmigrasi yang tidak beroriantasi kepada lahan pertanian semata. Artinya transmigrasi juga didedikasikan untuk mengolah sektor lain di luar pertanian. Pulau sumbawa sebagai daerah tujuan transmigrasi punya potensi untuk hal tersebut. Sebagai contoh, wilayah SAMOTA yang bisa dibuka untuk pengelolaan pariwisata dan potensi kelautan.
Kesimpulan
Pembangunan berbasis populasi merupakan pilihan yang rasional untuk diterapkan di Nusa Tenggara Barat, akan tetapi jika ingin dimaksimalkan perlu melihat bagaimana pengelolaan penyebaran penduduk di dua pulau utama di NTB. Transmigrasi degan pengelolaan yang lebih menekankan kemandiarian hanyala salah satu solusi dan mungkin ada banyak solusi lain. Yang menjadi harapan adalah pelaksanaan pembangunan secara merata dan tidak menimbulkan asumsi ketimpangan yang bisa memiliki dampak sosial yang negative.
Akan tetapi terdapat kelemahan dalam paradigma seperti ini terutama terkait dengan kondisi geografis yang ada di NTB. Asumsi ketimpangan pembangunan bisa membuat dampak sosial berupa ketidakharmonisan antara penduduk di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Apalagi secara etnik antara Lombok dan Sumbawa juga terdapat perbedaan dimana pulau Lombok sebagian besar terdiri dari etnis Sasak dan Pulau Sumbawa didominasi etnis Sumbawa dan Bima. Memang patut diakui bahwa NTB termasuk sebagai wilayah dengan toleransi yang sangat bagus dan diakui secara nasional, akan tetapi tentunya hal tersebut lahir dari usaha dan kerja keras dalam mengatasi potensi-potensi yang bisa berdampak sosial. Oleh karena itu, asumsi-asumsi tentang terjadinya disparitas pembangunan antara pulau Lombok dan Pullau Sumbawa harus menjadi perhatian, dieliminir dan dicarikan solusi agar tidak menjadi lebih besar.
Transmigrasi: pemerataan pembangunan lewat pemerataan populasi
Salah satu yang bisa dijadikan solusi dalam mengatasi asumsi negatif yang timbul dari hasil paradigma pembangunan berbasis populasi adalah dengan menyeimbangkan jumlah penduduk yang mendiami kedua pulau utama di NTB tersebut.
Transmigrasi sendiri bukan hal yang baru bagi pemerintah NTB, akan tetapi sudah cukup lama yaitu sejak tahun 1973. Selama kurun wakru tahun 1973 sampai dengan tahun 2008 Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Instansi yang menangani Ketransmigrasian telah mengerahkan transmigrasi sebanyak 45.3179 KK = 178.866 jiwa yang ditempatkan di berbagai daerah transmigrasi. Hanya saja, secara kuantitas dan kualitas, realisasi ini masih kurang dari yang dibutuhkan. Agar bisa tetap mempertahankan paradigma pembangunan berbasis populasi maka distribusi kepadatan penduduk di dua pulau utama di NTB setidaknya dibutuhkan pergeseran perbandingan populasi antara pulau Lombok dan Pulau Sumbawa dari 3:1 menjadi 2:1. Artinya dalam hitungan kasar perlu ada perpindahan penduduk dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa sekitar satu juta jiwa yang merupakan jumlah yang sangat besar.
Akan tetapi ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan untuk merealisasikan program ini. Pertimbangan-pertimbangan ini diambil dari pengalaman pelaksanaan program transmigrasi tahun-tahun sebelumnya beserta kendalanya, juga dengan melihat pertimbangan potensi yang dimiliki provinsi NTB pada saat ini. Pertimbangan tersebut antara lain yang pertama adalah transmigrasi pada tahun-tahun sebelumnya terkendala diantaranya oleh ketersediaan infrastruktur utama seperti listrik dan air minum. Pengadaan ini sebagian besar bergantung kepada intervensi pemerintah sehingga sulit melahirkan alternatif yang lebih mandiri dari transmigran. Yang kedua, pelaksanaan transmigrasi selama ini terkesan hanya terfokus pada wilyah yang potensial untuk pembukaan lahan pertanian baru.
Berdasarkan kedua poin tersebut, jika ingin meningkatkan realisasi transmigrasi yang bisa menciptakan proporsi populasi yang seimbang antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, maka hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah:
1.Kemungkinan pendekatan alternative untuk pengadaan listrik, air minum bahkan sampai sarana perumahan. Hal ini bisa meningkatkan tingkat kemandirian bagi transmigran sehingga tidak semata bergantung pada intervensi pemerintah. Potensi untuk ini sangat besar melihat keberadaan berbagai perguruan tinggi dan komunitas ilmiah yang ada di NTB yang bisa dijadikan motor bagi teknologi alternative tepat guna yang bisa dijadikan untuk merintis daerah-daerah baru. Yang diperlukan adalah keberanian pengambil kebijakan untuk menstimulasi dan merintis jalan menuju ke arah sana.
Sebagai contoh teknologi alternatif yang bisa dimanfaatkan misalnya untuk kelistrikan pembangkit listrik mikrohidro dan pembangkit listrik tenaga surya, untuk perumahan system earthbag, atau model perumahan alternative lainnya yang terbukti murah dan ramah lingkungan. Kesemua alternative ini bisa dilaksanakan dengan pendekatan berbasis komunitas sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada intervensi pemerintah sekaligus mendorong kemandirian masyarakat.
2.Perlu juga dipertimbangkan peluang perintisan transmigrasi yang tidak beroriantasi kepada lahan pertanian semata. Artinya transmigrasi juga didedikasikan untuk mengolah sektor lain di luar pertanian. Pulau sumbawa sebagai daerah tujuan transmigrasi punya potensi untuk hal tersebut. Sebagai contoh, wilayah SAMOTA yang bisa dibuka untuk pengelolaan pariwisata dan potensi kelautan.
Kesimpulan
Pembangunan berbasis populasi merupakan pilihan yang rasional untuk diterapkan di Nusa Tenggara Barat, akan tetapi jika ingin dimaksimalkan perlu melihat bagaimana pengelolaan penyebaran penduduk di dua pulau utama di NTB. Transmigrasi degan pengelolaan yang lebih menekankan kemandiarian hanyala salah satu solusi dan mungkin ada banyak solusi lain. Yang menjadi harapan adalah pelaksanaan pembangunan secara merata dan tidak menimbulkan asumsi ketimpangan yang bisa memiliki dampak sosial yang negative.
Komentar
Posting Komentar