Kejadian ini terjadi beberapa hari yang lalu di salah satu Posyandu. Kader mengarahkan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya untuk mendapat penyuluhan. Menurut penjelasan kader tersebut, setelah ditimbang ternyata berat anak tersebut turun drastis dibanding penimbangan periode sebelumnya.
Karena permasalahannya terkait dengan kondisi gizi, maka proses penyuluhan dan konsultasi diserahkan kepada petugas gizi dari Puskesmas. Namun saya yang juga kebetulan berada di meja penyuluhan bisa menyaksikan prosesnya secara dekat.
Setelah dicek dan dilakukan penimbangan, ternyata hasil penimbangan yang dilakukan sebelumnya keliru. Penyebabnya pada saat penimbangan anak tersebut menangis dan meronta sehingga tidak bisa dilakukan penimbangan dengan baik.
Akan tetapi yang menjadi perhatian saya bukan pada hal tersebut, melainkan apa yang terjadi setelahnya.
Secara fisik, anak yang masih berumur lebih dari setahun itu terlihat kurus dan memang agak rewel. Mungkin karena itu, terlepas dari hasil penimbangan yang keliru, petugas melanjutkan mewawancarai sang ibu untuk mengetahui kondisi gizi anaknya.
“Memang anak ini suka betul makan snack,” kata ibu itu kepada petugas terkait jenis makanan yang sering dikonsumsi anaknya.
Dari jawaban inilah kemudian petugas gizi merespon dengan pertanyaan yang cukup menggelitik bagi saya yang ikut mendengar.
“Ini anaknya kecil-kecil begini tapi sudah bisa belanja sendiri… atau bagaimana?”
Ibu itu hanya tersenyum sambil memangku anaknya. Dia tidak menjawab karena mungkin sudah paham dengan arah pertanyaan yang diajukan.
Anak pada umur tersebut biasanya baru bisa berjalan atau mungkin sedang belajar berlari. Tapi itu pun masih harus tetap diawasi. Jadi, rasanya sulit membayangkan kalau kegemaran anak tersebut pada makanan ringan karena anaknya yang hobi belanja. Dengan kata lain, pola konsumsi makanan anak tersebut adalah hasil pembiasaan oleh orang tua.
Ironisnya, kejadian di atas sering terjadi di sekitar kita. Banyak anak-anak yang mengkonsumsi makanan ringan secara berlebihan. Padahal kandungan yang ada pada makanan olahan pabrik seperti itu seringkali tidak memenuhi kadar gizi yang dibutuhkan oleh anak. Bahkan tidak sedikit pula yang kemudian lebih senang dengan produk makanan ringan dibandingkan dengan masakan rumah. Semua itu disebabkan oleh konsumsi makanan ringan secara tidak tepat.
Mengutip dari situs alodokter.com, disebutkan bahwa beberapa keluhan dapat menyertai bila bayi mengkonsumsi makanan ringan secara tidak tepat, seperti gangguan lambung, mual, sariawan, batuk, diare, atau mungkin anak tidak mau makan makanan pokoknya dan lebih suka mengkonsumsi cemilan.(1)
Menjadi orang tua sadar gizi
Orang tua tentunya tidak menginginkan hal demikian terjadi kepada anaknya. Semua berharap agar anaknya tumbuh dan berkembang secara maksimal. Salah satu caranya adalah dengan mulai membangun kesadaran tentang kebutuhan gizi anak.
Sebagai orang tua, wajib mempelajari hal-hal terkait asupan gizi yang dibutuhkan anak. Mencari informasi dari sumber-sumber yang terpercaya seperti petugas kesehatan di Posyandu, Puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Selain itu perlu pula menambah referensi dari sumber-sumber lainnya.
Di antara permasalahan gizi yang perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua adalah pada masa kehamilan sampai anak berumur 2 tahun atau yang sering disebut dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan.
1000 Hari Pertama Kehidupan sangat penting karena seluruh organ penting dan sistem tubuh mulai terbentuk dengan pesat. Perkembangan yang dimulai adalah kesehatan saluran cerna, perkembangan organ metabolik, perkembangan kognitif, pertumbuhan fisik, dan kematangan sistem imun. 1000 Hari Pertama Kehidupan ini sangat penting karena ini adalah periode emas dan tidak bisa diulang.
Menjadi penyedia gizi
Mengambil pelajaran dari kisah di atas, pada umumnya anak-anak belum bisa menentukan sendiri pilihan makanan yang akan dikonsumsinya. Orang tua sebagai orang terdekat anak berperan sebagai penyedia makanan bergizi seimbang bagi anak di rumah. Apa yang disediakan oleh orang tua, maka itu pulalah yang akan dikonsumsi oleh anak. Jika makanan yang disediakan adalah makanan sehat dan bergizi, maka yang dikonsumsi anak akan sehat dan bergizi. Sebaliknya jika orang tua menyediakan makanan yang tidak sehat, maka itu pulalah yang akan dikonsumsi oleh anak. Demikian seterusnya hingga menjadi kebiasaan.
Bahkan pada anak yang umurnya lebih besar, makanan yang dikonsumsi seharusnya tetap ada pada kendali orang tua. Misalnya anak meminta kepada orang tua untuk dibelikan jajanan yang tidak sehat. Orang tua yang mengutamakan kesehatan anak tentu tidak akan mengabulkan, bahkan jika anak merengek dan menangis, misalnya. Di sinilah dibutuhkan konsistensi orang tua.
Menjadi teladan gizi
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah menerapkan pola makan yang sehat dan bergizi pada diri sendiri sebagai teladan bagi anak.
Pada umumnya, selera dan pola makan anak sangat terpengaruh oleh pola dan selera yang diterapkan oleh orang tua. Sebagai contoh, orang tua yang senang dengan masakan pedas dan terbiasa menyediakan makanan pedas di rumah, besar kemungkinan anaknya juga akan menggemari makanan-makanan pedas. Begitu pula dengan orang tua yang suka dengan makanan cepat saji atau cemilan, kemungkinan anaknya juga akan meniru pola yang sama.
Tentunya edukasi pada anak juga perlu dilakukan karena sedikit banyak hal ini akan berpengaruh pada pola hidup anak di masa yang akan datang.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam masalah gizi anak. Tentunya ada faktor lain seperti keterjangkauan makanan bergizi, faktor lingkungan, dan lainnya. Tapi orang tua pada umumnya tetap menjadi penentu utama. Dan keputusan itulah yang menjadi ukuran keren atau tidaknya kita sebagai orang tua. (ANH)
___________________________________________________________
https://www.alodokter.com/komunitas/topic/makanan-ringan “Bolehkah anak dibawah 2 tahun diberi makanan ringan?”. Diakses 28 Januari 2022
Komentar
Posting Komentar